@Facebook

KabarDesa.com, Palembang – Harga karet anjlok bukan lagi dalam hitungan bulan, tapi sudah menahun, namun seakan tak ada tanda-tanda beranjak naik. Sayangnya perhatian para pengambil kebijakan di bidang perkaretan di negeri ini baik untuk tingkat pusat maupun tingkat daerah nyaris tak terdengar.

Kita lupa bahwa negeri ini adalah penghasil karet terbesar kedua di dunia dengan produksi 3.231.825 ton pada tahun 2015, berada di bawah Thailand dengan produksi 3.979.000 ton, dan berada di atas Vietnam dan Malaysia. Propinsi penghasil karet terbesar di Indonesia adalah Sumatera Selatan dengan produksi 922.915 ton pada tahun 2015.

Ternyata 870.194 ton adalah produksi kebun karet rakyat dengan luas 789.814 Ha, yang diusahakan oleh 518.455 Kepala Keluarga (Data statistik Ditjen Perkebunan tahun 2015).

Ketua TP Sriwijaya yang juga sebagai Datuk Patani Sumsel mengungkapkan keprihatinnya, Rabu (2/11) dia berkata, Jadi wajar kalau harga karet yang pernah bertengger di atas Rp 20 ribu per kg, kemudian saat ini berada pada posisi Rp 4.500 s.d Rp 5.000 per kg.

“Maka yang paling terpukul adalah rakyat, para petani, dan dampaknya kasat mata. Dengan kondisi ini maka daya beli masyarakat ledesaan sangat turun, kebun karet banyak yang ditinggal bahkan sebagian ada pohon karet yang ditebang diganti dengan tanaman lain.

Mengapa demikian? karena hasil yang didapat tidak cukup untuk memenuhi keperluan harian, apalagi untuk merawat kebun karet. Seandainya satu keluarga petani karet di Sumatera Selatan beranggotakan 4 orang maka hampir 2,5 juta orang Penduduk Sumatera Selatan yang kehidupan nya tergantung dengan harga karet,” jelas Susno.

Kemudian dia menerangkan, belum lagi kalau ditambah tenaga kerja yang terkait dengan perkaretan, seperti pedagang, transportasi, buruh pabrik karet, dan lain – lain, mungkin mencapai 3 juta orang, bayangkan betapa mengejutkan angka itu jika dibandingkan dengan penduduk Sumatera Selatan sekitar 11 juta orang.

Saat harga karet lumayan harganya di atas Rp 20 ribu per kg , petani karet jauh sebelum matahari terbit sudah pergi ke kebun, untuk mengambil getah karet dan memasang mangkok kosong untuk menampung karet yg baru dideres.

“Petani karet pergi ke kebun naik sepeda motor, bawa bekal rokok kretek bermerek yang cukup terkenal sebagai pertanda bahwa petani karet makmur. Saat harga karet rakyat di atas Rp 20 ribu per kg, betapa sejahteranya petani karet dan juga dampak positifnya adalah meningkatnya daya beli sehingga para pedagang kecipratan mendapat rezeki, juga devisa masuk ke kas negara meningkat karena harga karet ekspor juga bagus.

Misteri apa di balik harga karet yang tak kunjung membaik dalam waktu yang cukup lama ini? Apakah kebutuhan karet nasional dan dunia turun? Ternyata tidak menurun bahkan cenderung meningkat karena kebutuhan akan industri berbahan baku karet juga meningkat, seperti ban kendaraan bermotor, pipa, alas kaki, jok, dan lain – lain,” paparnya.

Kalau demikian bagaimana sih cara mengatasinya, minimal untuk harga karet di dalam negeri? Pemerintah perlu merunut rantai perdagangan karet mulai dari kebun rakyat sampai ke pemakai (user, red) di dalam negeri.

Indutri berbahan baku karet dalam negeri menerima bahan baku karet dalam bentuk Crumb Rubber SIR 10 dan SIR 20 (SIR : Standard Indonesia Rubber) dengan harga sekitar Rp 19.200 per Kg.

Untuk menjadi bahan baku perhitungannya seperti ini, 1 kg Karet rakyat 1 Minggu menjadi 0,35 – 0, 38 kg Crumb Rubber, kemudian 1 kg Karet rakyat 2 Minggu menjadi 0,45 – 0,50 kg Crumb Rubber. Ongkos pengolahan pabrik per 1 kg Karet rakyat menjadi Crumb Rubber adalah kisaran Rp 1.200.

“Kalau 2,5 kg karet rakyat menjadi 1 kg Crumb Rubber maka biayanya adalah 2,5 x Rp 4.500 = Rp 11.250, ongkos pabrik Rp 1.200 jadi modal untuk membuat 1 kg Crumb Rubber adalah kisaran Rp 12.450, sedangkan harga jual kepada industri kisaran Rp 19.200, keuntungan pedagang besar karet yang memiliki pabrik Crumb Rubber ada pada kisaran Rp 6.750 per kg atau 54 % lebih.

Apakah keuntungan yang didapat oleh pedagang besar karet pemilik karet itu adil kalau dibandingkan dengan jerih payah petani? Kalau kita bicara angka 54 % itu di sinilah peran pemerintah selaku regulator untuk mengatur rantai perdagangan karet dan industri karet dalam negeri, karena berada di dalam negeri maka kekuasaan pemerintah sangat kuat untuk mengaturnya, jangan biarkan rakyat menderita,” urai Susno.

Berikutnya dia menerangkan, apakah ada kartel atau ada sindikat perdagangan karet di dalam negeri sehiga rakyat petani karet yang dirugikan? mari kita lihat, gampangkah menembus dunia perdagangan dan industri pengolahan karet nasional? Ternyata agak sulit.

“Teman saya bercerita bahwa untuk mendirikan Pabrik pengelolahan karet Crumb Rubber tidak gampang! Tidak hanya cukup dengan punya uang saja, karena ada syarat bahwa pabrik bisa didirikan kalau ada rekomendasi dari minimal dua pabrik Crumb Rubber berdekatan. Persoalannya apakah mau pemilik pabrik mengijinkan orang lain mendirikan pabrik untuk menyaingi usahanya?

Anehkan? Bagaimana kalau nekad mendirikan Pabrik Crumb Rubber tanpa rekomendasi dua pabrik yang sudah lebih dulu ada? Konsekuensi berat sekali karena produksi tidak bisa dijual/ekspor sebab untuk itu harus ada rekomendasi dari GAPKINDO (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia).

Perusahaan yang mau jual/ekspor karet harus punya yang dinamakan TPP (Tanda Pengenal Produksi) yang dikeluarkan oleh GAPKINDO, dan harus menjadi anggota GAPKINDO, untuk dapat menjadi anggota GAPKINDO tidak pula gampang, karena harus direfrensi oleh dua Pabrik Crumb Rubber yang berdekatan, dimana yang duduk di asosiasi tersebut adalah para taipan karet yang sudah bercokol lama di dunia perkaretan bahkan sudah turun temurun,” urainya lagi.

Siapa yang melarang ekspor karet yang tidak ada rekomendasi dari GAPKINDO? Ya, aparat yang berwenang di bidang ekspor, anehnya aparat bisa nurut sama GAPKINDO alias para taipan karet. Kalau demikian apa yang harus dilakukan dalam membenahi rantai perdagangan dan industri perkaretan di dalam negeri?

Menurut Susno, ini yang harus dilakukan oleh pemerintah, tertibkan pengusaan perdagangan dan industri karet yang hanya dikuasai oleh segelintir taipan, bebaskan masyarakat untuk mendirikan pabrik pengolahan karet karena adanya pabrik Crumb Rubber akan menyelamatkan karet rakyat dari permainan segelintir taipan karet yang menyengsarakan rakyat.

“Ekspor karet mutlak kewenangan aparat pemerintah yang mengatur, jangan lagi cengkeraman tangan taipan karet ikut bermain melalui selubung GAPKINDO, aparat ekspor jangan diatur oleh GAPKINDO yang merupakan selubung taipan karet.

Dengan dibenahinya rantai perdagangan dan rantai industri perkaretan di dalam negeri, maka harga karet ditentukan melalui mekanisme pasar, bukan oleh permainan dan kesepakatan segelintir taipan karet,” beber Susno.

Ingat keuntungan yang diambil para taipan karet sudah sangat tidak wajar, tidak adil, sangat merugikan petani karet . Sedangkan untuk memperbaiki harga karet internasional kiranya dapat dilakukan melalui perundingan dan kesepakatan diantara negara penghasil karet dunia, apalagi empat diantara lima negara penghasil karet dunia adalah negara anggota Asean yang terdiri dari Thailand, Indonesia, Vietnam dan Malaysia.

Maka harus dilakukan perundingan yang intens dari ke empat negara ini melalui Forum MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), atau melalui forum yang lebih special lagi, yaitu : International Tripartite Rubber Council (ITRC) dimana forum ini khusus membicarakan tentang per-karetan untuk mencari solusi yang tepat mengatasi anjloknya harga karet.

“Upaya – upaya internasional dan dalam negeri yang serius oleh pemerintah diyakini dapat mendongkrak harga karet, apalagi kalau kita perhatikan industri yang berbahan baku karet dan industri yang memerlukan campuran karet sebagai bahan baku cukup banyak.

Lihat ban mobil, pipa, terpal, jok, dan lain – lain, mungkin juga permen karet, kita berharap dan berdo’a harga karet akan membaik khususnya harga karet di dalam negeri,” pungkasnya. (SD)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here