Sintren / Foto : Yugo
Sintren / Foto : Yugo

BANYUMAS – Acara Juguran Blogger Indonesia yang diadakan Jum’at-Minggu, 13-15 Mei 2015 kemarin, selain menyambangi Desa Kalisari juga bertandang ke Desa Dermaji yang lokasinya berada di ujung barat Kabupaten Banyumas.

Secara geografis, Desa Dermaji masuk di wilayah Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Desa ini merupukan desa pinggiran yang berbatasan dengan Desa Tayem Timur, Kec. Karangpucung, Kab. Cilacap di sebelah baratnya. Desa yang berada di daerah pegunungan ini berada 100-300 meter di atas permukaan laut. Meski berada di pegunungan, namun saya sendiri tak merasakan hawa sejuk dan dingin khas pegunungan. Mungkin karena faktor cuaca.

Luas Desa Dermaji sendiri cukup besar, yakni 1.302 Ha. Namun, 649 Ha berupa tanah tegalan, 500 Ha berupa hutan, 96 Ha persawahan, dan tanah pemukiman hanya 31 Ha.

Disambut Sintren, Kesenian Tari Sintren Reksa Budaya

Setelah hari Sabtu (14/5) rombongan Juguran Blogger menyambangi Desa Kalisari yang merupakan surganya tahu, sore harinya kami langsung menuju Desa Dermaji yang letaknya cukup jauh dari Desa Kalisari. Kemarin membutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih untuk sampai ke Desa Dermaji. Kondisi jalanan yang naik turun dan berliku membuat kesan tersendiri memasuki daerah ini.

Sesampainya di Desa Dermaji, kami singgah di rumah Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho, yang letaknya tak jauh dari Kantor Desa Dermaji.

Yang menarik, kedatangan kami disambut dengan pagelaran seni “Sintren” dari Sintren Reksa Budaya, dari Grumbul Karanggedang. Kesenian sintren sendiri sejatinya bukan berasal dari Banyumas, tetapi Cirebon. Tapi meski demikian, ini merupakan perwujudan pelestarian budaya dan kesenian daerah agar tidak hilang.

Bayu Setyo Nugroho saat sambutan acara Sintren
Bayu Setyo Nugroho saat sambutan acara Sintren / Foto : Yugo

Dalam sambutannya, Bayu Setyo Nugroho mengatakan bahwa pihaknya berusaha untuk menemukan jati diri untuk masa depan. Jati diri ini adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan.

Sintren sendiri adalah salah satu budaya yang dicoba untuk dibangkitkan kembali.

“Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). sintren jg mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yg khas.” – Wikipedia.org

Saya sendiri baru pertama kali mengetahui dan melihat kesenian sintren ini. Sekilas kesenian ini seperti seni tari biasa. Tapi setelah melihat langsung dan mendengar cerita dari masyarakat, bahwa Sintren ini memiliki unsur mistis.

Penari Sintren sebelum masuk kurungan / Foto : <a href="http://bentara.id" target="_blank">Yugo</a>
Penari Sintren sebelum masuk kurungan / Foto : Yugo

 

Penari Sintren sudah dikurung
Penari Sintren sudah dikurung / Foto : Yugo

Waktu itu penari adalah seorang gadis kecil yang tiba-tiba dikurung dalam sebuah kurungan dengan tinggi kurang lebih 1 meteran. Sembari diiringi musik gamelan sintren, tiba-tiba tercium bau sesajen. Setelah beberapa menit, akhirnya kurungan pun dibuka dan si gadis kecil tadi sudah memakai pakaian tari dan kacamata hitam yang merupakan gaya khas Sintren.

Sintren / Foto : <a href="http://bentara.id" target="_blank">Yugo</a>
Sintren / Foto : Yugo

Berulang kali penari sintren ini menari dengan gaya yang selalu sama. Mukanya datar tanpa ekspresi sama sekali.

Hingga pada akhirnya ada beberapa penonton yang melemparinya selendang. Ternyata selendang tersebut isinya saweran. Saweran berupa uang diikat diselendang lalu dilempar ke penari. Setelah saweran diambil oleh ibu-ibu sinden, selendang tersebut diangkat oleh si penari sintren, agar mengetahui siapa pemilik selendang tersebut. Lalu si penari menghampiri pemilik selendang yang telah menyawer tadi untuk dikembalikannya.

Sintren
Sintren / Foto : Yugo

Tidak hanya melalui selendang uang dilempar, tak jarang penonton yang ingin menyawer datang langsung ke penari lalu memberikan sawerannya di selendang penari dengan mengikatnya.

Menarik memang. Ternyata sintren cukup memberikan hiburan tersendiri bagi masyarakat Desa Dermaji. Dan tentunya ini menjadi salah satu cara untuk merekatkan budaya di Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here