Tahu Kalisari

Jarang-jarang saya bisa melihat langsung proses pembuatan tahu, apalagi di sentra industri tahu yang sebagian besar warganya memang memproduksi tahu.

Adalah Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupatan Banyumas yang merupakan tujuan pertama saya dan teman-teman blogger lainnya dalam rangka “Juguran Blogger Indonesia” yang diadakan oleh teman-teman Blogger Banyumas, seperti Mas Pradna dan Mas Soep. Saya sendiri tidak tahu pasti siapa panitia acara ini, soalnya cuma mereka berdua saja yang wora-wiri kesana kemari ngurusi kami blogger-blogger dari luar Banyumas. Ditambah lagi peran serta Mbak Olipe, Blogger Purwokerto, yang mencoba membantu kami, terutama menyediakan rumah singgah sementara ketika saya tiba di Purwokerto.

Acara yang telah diadakan seminggu yang lalu, 13-15 Mei 2016, memang sangat kental dengan tema acaranya, yakni “Banyak Wisata, Sedikit Bicara“. Acaranya cuma jalan-jalan ke desa. Acara inti sebenarnya pada tanggal 14-15 Mei 2016, sedangkan tanggal 13 untuk proses kedatangan peserta.

Saya sendiri datang bersama tiga blogger dari Jogja (Mas Wawan, Mbak Rian, dan Mas Yugo), lalu ditambah satu blogger dari Solo, Mas Halim, dan satu lagi dari Nganjuk, Mas Ndop. Kami berangkat menggunakan kereta Joglokerto yang tiba sekitar pukul 10.00 WIB di Stasiun Purwokerto.

Ketertarikan saya mengikuti acara ini selain yang utama untuk silaturahmi dengan Blogger Purwokerto, Banyumas dan Blogger dari daerah lain, juga karena melihat lokasinya yang akan diadakan di dua desa potensial di Kabupaten Banyumas, yakni Desa Kalisari dan Desa Dermaji. Sehingga saya bisa memiliki bahan untuk mengabarkan apa yang ada di sana melalui web sederhana saya ini, KabarDesa.com.

Kerupuk Ampas Tahu, Produk Olahan Dari Limbah Produk Tahu

Sabtu (14/5) kami mulai menelusuri Desa Kalisari yang memiliki luas 204,355 Ha ini. Dan ternyata di desa ini memiliki 250 UKM yang semuanya memproduksi tahu. Usut punya usut, sejarah industri tahu di Desa Kalisari ini sudah ada sejak jaman Belanda. Kurang tahu tahun berapa pastinya, tapi yang info yang saya dapatkan dari Pak Ardan Aziz, Kepala Desa Kalisari, bahwa dulunya ada seseorang dari China bernama Baba Menang yang membawanya ke sini.

Hingga pada akhirnya secara turun temurun berlanjut hingga sekarang.

Itu masa lalu, sekarang kita coba melihat masa depan.

Dengan adanya sekitar 250 UKM yang tersebar di Desa Kalisari, itu artinya produk limbah tahu juga tinggi. Bicara soal limbah, tentunya akan memberikan dampak yang negatif untuk masyarakat di sana untuk beberapa tahu ke depan. Tapi syukurnya, sejak 2010 ada Dosen dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang membantu masyarakat di sana untuk menjadikan limbah padat tahu menjadi produk olahan yang bernilai ekonomis.

Kerupuk Ampas Tahu Desa Kalisari
Kerupuk Ampas Tahu Desa Kalisari

Dan benar saja, akhirnya munculah produk Kerupuk Ampas Tahu. Kerupuk yang 50% dibuat dari ampas tahu, sedangkan 50% sisanya dari tepung tapioka. Ditambah dengan bumbu-bumbu dapur, seperti bawang putih, bumbu penyedap, dan bumbu lainnya, Kerupuk Ampas Tahu Desa Kalisari pun tak kalah terkenalnya dengan produk tahu Kalisari.

Pak Suwardi, Perajin Kerupuk Ampas Tahu Desa Kalisari
Pak Suwardi, Perajin Kerupuk Ampas Tahu Desa Kalisari

Salah satu perajin Kerupuk Ampas Tahu yang kami temui, Suwardi (60), terlihat sangat semangat memproduksi kerupuk ini. Beliau dibantu istri dan tiga tenaga pembantunya setiap hari membuat kurang lebih 100 kg bahan-bahan tadi untuk dibuat kerupuk. Dari 100 kg tersebut (50 kg ampas tahu, 50 kg tapioka) ternyata setelah kering hanya menghasilkan kerupuk dengan berat 55 kg saja. Penyusutan yang cukup tinggi ternyata.

Tapi itu bukan menjadi masalah serius bagi Bapak Suwardi dan Ibu Daryati. Malah kedua pasangan ini sangat semangat sekali, saking semangatnya, saya tanya ke Ibu Daryati apa tapi jawabnya apa, mungkin beliau terlalu semangat menyambut kami.

Usaha kerupuk milik Pak Suwardi ini termasuk yang perorangan. Sebenarnya di Desa Kalisari ada UKM kerupuk yang modelnya berkelompok. Satu kelompok terdiri antara 5 – 10 orang.

Kerupuk yang dijual oleh Pak Suwardi ini dibungkus dalam plastik-plastik kecil, lalu dijadikan satu dalam satu pack. Satu pack berisi 21 bungkus. Dan cukup dihargai Rp 34.000 saja untuk retail, dan Rp 32.000 untuk grosiran. Beruntung, Pak Suwardi tak perlu lagi menawarkan ke konsumen-konsumen, karena beliau telah memiliki pelanggan tetap dan setia yang akan mengambilnya langsung ke tempat rumah produksi Pak Suwardi.

Beberapa daerah, seperti Banjar, Purbalingga, Cilacap, menjadi target market utama produk Kerupuk Ampas Tahu milik Pak Suwardi ini.

Ternyata Pak Suwardi pernah mempromosikan kerupuknya melalui media sosial. Padahal kalau saya melihat potensi yang dimiliki Pak Suwardi, sulit kemungkinan Pak Suwardi mempromosikan melalui internet. Tapi setelah mendengar penjelasan beliau, ternyata dibantu anaknya untuk mempromosikan melalui internet.

Setiap usaha pasti ada tantangan dan kendala, Pak Suwardi dan istinya Ibu Daryati sangat jujur ketika saya tanya apa kendalanya. Dan bagi beliau yang menjadi kendala hanya satu, yakni cuaca. Mengingat untuk memproduksi kerupuk ini harus dijemur di bawah terik matahari yang cukup panas agar cepat kering.

Proses Penjemuran Kerupuk
Proses Penjemuran Kerupuk

Pak Suwardi menjelaskan kalau cuaca sangat panas, proses penjemuran hanya membutuhkan satu hari saja sudah kering.

Ingin Tahu? Ke Desa Kalisari Aja

Ardan Aziz - Kepada Desa Kalisari
Ardan Aziz – Kepada Desa Kalisari

Begitulah sekilas tagline yang meramai kaos yang dikenakan oleh Kepala Desa Kalisari, Ardan Aziz. Kepala desa yang lumayan humoris ini ternyata sangat mengerti betul tentang desanya. Hal ini saya lihat dari bagaimana dia menjawab pertanyaan dan menjelaskan tentang ilmu pengeTAHUan yang ada di Desa Kalisari.

Sungguh, saya demen sama Kepala Desa yang seperti ini. Semoga desa saya mendapatkan Kepala Desa yang lebih humoris tapi positif, karena desa saya saat ini sedang terjadi kekosongan pemimpin. Kepala Desa yang kemarin kena kasus masalah duit. Maaf jadi curhat.

Kembali ke ilmu pengeTAHUan, kemarin juga mengunjungi tempat produk tahu yang sudah menggunakan alat-alat yang saya belum tahu namanya.

Tempat Untuk Mencetak Tahu
Tempat Untuk Mencetak Tahu

Namun sayang, yang membuat saya sedikit sedih adalah bahan utama proses pembuatan tahu, kedelai, sebagaian besar masih menggunakan kedelai import dari Amerika. Kedelai lokal hanya untuk campuran saja.

Tapi ini ada penyebabnya ternyata. Jadi menurut menjelasan baik yang disampaikan oleh Pak Ardan Aziz dan juga Pak Purwanto, Ketua Kelompok Sari Delai Karangsari, bahwa penggunaan kedelai import ini dikarenakan suplai kedelai lokal masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan per hari produksi tahu di Desa Kalisari. Per hari itu bisa mencapai 9 ton untuk membuat tahu.

Pak Purwanto, Ketua Kelompok Tahu Sari Delai
Pak Purwanto, Ketua Kelompok Tahu Sari Delai

Alasan lain yang cukup membuat saya tercengang adalah masalah persepsi masyarakat.

Jadi gini, dulu pernah menggunakan bahan dari lokal, hasil tahu kalau memakai kedelai lokal itu agak keras dibanding dengan kedelai import. Nah, karena dulu muncul kasus formalin yang digunakan untuk mengawetkan tahu, masyarakat (konsumen) pun menjadi takut. Banyak yang menilai tahu yang keras itu memakai formalin. Padahal tahu produksi Desa Kalisari ini keras murni dari bahannya yang lokal, bukan karena diberi formalin.

Dari situ akhirnya kekhawatiran muncul, takut jika diteruskan bahwa konsumen yang tidak tertarik membeli tahu dari Desa Kalisari. Persepsi dan mindset masyarakat memang harus diluruskan. Jadi tolong informasi ini disebarluaskan, agar masyarakat lebih pandai dalam memilih tahu yang benar-benar berkualitas dan tidak. Karena jika dibiarkan yang rugi adalah dari sisi perajin sendiri.

Tahu Sari Delai
Tahu Sari Delai

Untuk menguatkan proses pemasaran, akhirnya produk tahu di Desa Kalisari telah mematenkan nama “Tahu Sari Delai” dengan nomor REG. DIY2014.00350. Harapannya tentu dengan terobosan ini produk tahu Desa Kalisari semakin mendunia.

“Carilah ilmu sampai negeri china, Kalau ingin pengeTAHUan ke Kalisari saja,” – Ardan Aziz.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here